Senin, 15 September 2008

MEMAHAMI SISI HUKUM UU. 10/2008

PENGUNAAN SUARA TERBANYAK
Oleh : GUS HeNS ( HRS )

Beberapa hari ini dunia sinetron perpolitikan nasional mulai diramaikan dengan pendaftaran bakal calon anggota legeslatif yang disampaikan oleh pimpinan parpol, baik dari tingkat nasional hingga kabupaten. Satu hal yang menarik adalah terjadinya inkonsistensinya beberapa parpol terhadap rumusan UU NO.10/2008 tentang Pemilu terutama persoalan tentang penentuan calon terpilih. Sebagaimana dalam UU tsb sistem pemilu yang kita anut adalah proporsional terbuka terbatas dengan batasan 30% bagi caleg terpilih atas namanya, apabila tidak memenuhi kreteria tersebut maka caleg terpilih dikembalikan pada nomer urut. Teringat kembali, saat terjadi pertarungan dalam perumusan UU tersebut di parlemen, dimana draf RUU dari pemerintah menginginkan sistem proporsional terbuka murni dengan tanpa nomer urut/berdasarkas suara terbanyak, namun kenyataanya draft tersebut di blok dam dihadang oleh partai-partai besar (PDIP & Golkar). Masih hangat dalam ingatan saya, saat itu peta politik parlemen terbelah menjadi 3 bagian,yaitu : 1) Mendukung draft RUU usulan pemerintah। 2) Mempertahankan nomer urut, seperti mekanisme pemilu 2004. 3) Mengambang/belum mengambil putusan, tapi dengan memberikan draf usulan agar sisa suara tidak habis di tiap-tiap dapil. Dari 3 peta politik diparlemen terbelahlah sbb : partai-partai " tengah " mendukung usulan pemerintah (PAN,PKS,DEMOKRAT,PBR,PDS), sedang partai-partai besar menghadang draft pemerintah (PDIP,PG), selanjutnya PPP,PKB memilih arternatif ke-3. Dalam loby-loby politik yang cukup alot didapat beberapa alternatif namun tidak memperoleh kesepakatan bersama, hingga diambil putusan untuk voting terhadap beberapa alternatif rumusan tsb. Dalam kondisi tersebut PKB menyeberang dan berkoalisi dengan partai-partai besar hingga akhirnya disepakatilah rumusan yang sekarang menjadi UU. No. 10/2008. Namun dalam perjalanan waktu saat ini, terjadi kelucuan-kelucuan politik dimana partai-partai besar yang dulunya menblok rumusan pemerintah justru berbalik membuat aturan internal partainya dengan mekanisme suara terbanyak dan mendorong revisi terbatas UU 10/2008 ( PDIP dengan 15% dan PG suara terbanyak ). Partai yang konsisten sejak awal menerapkan sistem suara terbayak adalah PAN hingga akhirnya PD, PBR dan PDS menerapkan hal yang sama. Disatu sisi PKS yang dulu getol menyuarakan suara terbanyak justru saat ini menolak mentah-mentah dan menerapkan sistem nomer urut kepada calegnya bersama dengan PKB dan PPP. Inilah kelucuan-kelucuan para politisi dan elit politik dinegeri ini yang tidak konsisten terhadap putusannya sendiri, mereka tidak pernah berfikir tentang makna sesungguhnya demokrasi apalagi tentang kemaslahatan rakyat banyak, mereka hanya berkepentingan untuk duduk kembali di kursi parlemen walaupun apa yang dilakukan menabrak rambu-rambu hakekat demokrasi. Kondisi ini terjadi dimana banyak para anggota DPR dari partai besar (PDIP & Golkar) yang duduk diparlemen saat ini tidak mendapatkan nomer urut kecil sehingga kemungkinan mereka terpilih kembali sangat mustahil, oleh karena itu mereka bermanuver untuk mengegolkan agenda berdasar suara terbanyak dalam rangka ada celah bagi mereka untuk lolos kembali ke parlemen dengan perhitungan mereka sudah memiliki logistik biaya kampanye yang cukup serta jaringan yang telah ia bina selama 5 tahun, jadi berasumsi dari hal tersebut maka kata-kata "demokrasi = suara terbanyak", hanyalah bualan politik dan omong kosong mereka kepada rakyat untuk mengegolkan agenda politik kepentingan pribadi mereka dengan menjual atas nama demokrasi dan rakyat. Sangatlah indah apabila perjuangan rekan-rekan di DPR itu berdasarkan hati nurani dan ketulusan dalam rangka memperbaiki kehidupan demokrasi kita untuk menggapai keadilan dan kesejahteraan rakyat dengan tanpa dikotori agenda kepentingan pribadi sesaat. Terlepas dengan itu semua, saya akan mencoba menganalisa perihal pengunaan suara terbanyak dengan masih diberlakukanya nomer urut sebagaimana termaktup dalam UU.10/2008. Beberapa hal yang ingin saya sampaikan sebagaimana kejadian tersebut dalam pandangan hukum, terlepas saya sebagai caleg maupun politisi maka saya akan menyampaikan secara objektif, fair dan jujur dari sudut Hukum Tata Negara, walaupun pandangan itu merugikan saya sebagai politisi karier yang kata orang selalu mengunakan istilah " politisi jenggot " pada teman-teman aktivis politisi karier, pandangan dari sisi hukum ini saya sampaikan secara terbuka sebagaimana kadar kemampuan keilmuaan yang saya miliki dalam bidang Hukum Tata Negara. Pengunaan suara terbanyak lahir dengan memanfaatkan celah hukum dalam UU. 10/2008 pasal 218 tentang mekanisme pengantian anggota DPR/DPRD, yang terutama adalah butir nomer b yaitu perihal mekanisme proses pergantiaan anggota DPR/DPRD melalui proses pengunduran diri. Celah inilah yang dimanfaatkan oleh beberapa parpol dalam mengambil kebijakan internalnya dengan metode suara terbanyak melalui cara pembuatan perjanjian surat pengunduran diri antar bacaleg dengan pimpinan parpol apabila suara mereka lebih rendah daripada calon lain walaupun mereka berada nomor urut kecil. Apabila caleg yang nomer kecil legowo mengundurkan diri karena suaranya lebih kecil daripada caleg dibawahnya maka tidak akan menjadi persoalan dalam internal partai yang bersangkutan. Tetapi sebaliknya, apabila nomer kecil yang suaranya lebih kecil dari caleg dibawanya tetap ngotot untuk tidak mau mundur maka akan terjadi perseteruaan politik dan dilanjutkan dalam ranah perseteruaan hukum antar caleg yang merasa suaranya terbanyak tetapi tidak terpilih menjadi caleg karena nomer kecil diatasnya tidak mau mengundurkan diri. Kalau ini terjadi maka akan terjadi saling gugat secara hukum antara caleg yang nomer urutnya kecil akan digugat oleh caleg yang memperoleh suara terbanyak bersama dengan pihak pimpinan parpol. Nah, mari kita tinjau secara hukum tentang khasus gugatan hukum tersebut, perjanjian pengunduran diri antar bacaleg dengan pimpinan partainya sbg steakholder hanya memiliki perikatan hukum secara perdata ( lihat teori hukum tentang perjanjian), karena masuk wilayah perjanjian antar seseorang atau dengan lembaga, sedangkan disatu sisi UU. N0.10/2008 adalah masuk kaidah hukum formil (kaidah hukum yang terlembagakan dalam praktek-praktek ketatanegaraan kita). Nah, apabila dibiarkan terjadi perseteruan antara wilayah hukum perdata dengan wilayah hukum formil maka pengadilan, sebagai lembaga yudikatif pengambil putusan hukum akan mengambil keputusan memenangkan wilayah hukum formil berdasarkan kaidah tata urut perundang-undangan RI, dimana produk hukum yang termaktup dalam UU lebih tinggi kedudukanya dibanding dengan wilayah perjanjian (lihat sistem tata urut perundang-undangan RI), karena perjajian itu adalah ranah hukum perdata yang mengikat perseorangan sebagai bagian dari warga negara. Kalau sudah begitu maka gugatan hukum yang dilakukan oleh caleg yang memperoleh suara terbanyak dan pimpinan partai sbg steakholder kepada kadernya yang tidak mengindahkan kesepakatan perjanjian perdata secara hukum akan kalah dipengadilan. Kalau sudah begitu artinya KPU akan berpegang pada putusan hakim yang telah memiliki putusan hukum tetap artinya KPU akan mensahkan kader yang berada pada nomer kecil menjadi caleg terpilih dengan mengabaikan caleg yang mendapatkan suara terbanyak, bila ini terjadi maka akan menimbulkan kegoncangan politik diinternal partai dan berakibat terjadi konflik politik yang berkepanjangan dalam skala nasional. Tentunya kita tidak ingin bangsa ini mengalami perseteruaan politik diantara para elitnya akibat kaidah hukum yang multi interpretatif maka untuk mengantisipasi hal tersebut diperlukan terobosan-terobosan hukum dalam mengakomodir perkembangan politik nasional agar tidak menabrak kaidah hukum dalam hal ini adalah UU 10/2008. Pertama, segera mahkamah konstitusi memberikan fatwa hukum terhadap isu-isu tersebut agar tidak terjadi multitafsir tentang pemahaman kaidah hukum terhadap UU 10/2008 tersebut sehingga apabila dibiarkan akan berakibat terjadinya distabilisasi dalam internal partai dan meluas menjadi distabilitas politik dalam skala nasional. Kedua, partai-partai melalui fraksi-fraksinya segera melakukan usulan refisi terbatas terhadap UU No.10/2008, minimal berisi pasal-pasal konkrit yang mengakomodir tentang pengunaan suara terbanyak, sehingga ada jaminan dan kepastiaan hukum, terutama dengan penambahan pada pasal 214 dengan butir f misalnya yang memberikan kewenangan kepada KPU untuk dapat menerima dan mensahkan mekanisme suara terbanyak yang dianut beberapa parpol selain mengunakan nomer urut bagi parpol yang mengunakaanya, artinya 2 sistem tersebut diakomodir dalam UU sehingga KPU saat menentukan calon terpilih tidak menabrak kaidah UU. Kalau tidak, saya kuatir elit-elit politik dinegeri ini hanya mengunakan isu-isu ini sebagai ranah politik yang dikembangkan oleh parpol dalam rangka strategi mengerakkan mesin politiknya dan mencari simpati masyarakat, yaitu para caleg agar semua mau bekerja sedangkan wilayah putusan hukum sengaja diambangkan. Klau ini terjadi maka ini adalah kebohongan yang luar biasa baik kepada kader partai sendiri maupun kepada masyarakat secara umum. Secara pribadi, saya sangat prihatin bila hal ini terjadi artinya tidak ada kejujuran dalam mengelola partai politik atau adanya praktek dusta antar pengelola parpol. Marilah kita mulai jangan ada dusta diantara kita, berpolitiklah yang lurus dan fair krn sesungguhnya berpolitik adalah sarana jihad kita bagi ummat, bangsa dan negara.
Semoga kita semua tercerahkan !!!! AMIEN 3 X
http//:www.ronysuhartono.blogspot.com
CALEG DPR - RI DAERAH PEMILIHAN JAWA TIMUR X ( LAMONGAN - GRESIK )
Link: www.google.com

4 komentar:

3Permata mengatakan...

Ass.wr.wb.
Terima kasih telah mampir di blog saya ya pak..
Wassalam.

3Permata mengatakan...

Ass.wr.wb.
Terima kasih telah mampir ke blog saya ya pak..
Wassalam.

nie mengatakan...

asalamualaikum...
good blog...!!!

Anonim mengatakan...

asalamualaikum...!!!
good blog...!!!